Kuhela napas panjang saat pintu lift di depanku perlahan menggeser terbuka. Memperlihatkan kekosongan lantai satu yang menanti diluarnya.
Langkah kakiku keluar kian berat menjejak, dan kusadari betapa letihnya aku. Seharian mengurusi program orientasi siswa baru betul-betul memeras selutuh energiku; rasanya sekarang aku hanya ingin cepat pulang, melempar diri ke atas ranjang, lalu tidur terlelap sampai besok pagi.
Baru dua hari selesai dari total enam hari penuh masa orientasi. Masih ada empat hari penuh keringat dan air mata yang menanti, namun sekujur badanku sudah mulai menjerit-jerit kelelahan.Dan bagaimana bisa si ketua OSIS ceroboh menyebalkan itu masih tega menyerahkan segala tanggung jawab mengurusi acara kebersamaan siswa Jumat nanti kepadaku? As if menjadi pembimbing kelas, pengurus games, dan penghubung tim paduan suara sudah tidak cukup menyita waktu, perhatian, serta tenagaku. Andai saja si bodoh itu punya sedikit saja tempat lebih di otak lemahnya untuk bisa peduli pada penderitaan bawahan tertindas.
Fiuh. Apalah. Yang penting hari ini sudah selesai, dan aku akhirnya bisa pulang. Biarlah masalah itu kupikirkan besok.
Dengan gontai kuseberangi lobi utama lantai satu dengan postman bag favoritku menggantung berat di pundak kanan, mencoba mengusir denyut-denyut mengganggu yang mulai menyerang kepalaku. Keremangan suasana yang familier menyapa penglihatanku. Sudah sore juga rupanya. Selama rapat evaluasi sekaligus beres-beres tadi aku tidak begitu memperhatikan waktu. Kulihat bayangan wajahku membias di salah satu kaca etalase piala yang berdiri disana-sini; ya ampun, aku terlihat berantakan. Rambutku awut-awutan, mukaku pucat, dan ada bulatan hitam menggantung semu di bawah dua mataku.
Aduh. Sudah pusing, capek, jelek, lapar pula. Kusadari aku belum makan apa-apa sejak pagi. Sial. Lebih baik aku bergegas pulang sebelum maag-ku kambuh.
Melewati akuarium ikan besar yang berdiri tegak tepat di samping pintu masuk, sempat kupejamkan mata ketika semilir angin sore lembut menerpa wajahku. Aku selalu suka hembusan angin yang sesekali lewat di daerah lobi, entah mengapa. Dan saat kembali kubuka mata, menatap jauh ke depan, aku terhenti.
Dia. Terduduk diam sendirian di tengah tangga lobi depan. Berpangku tangan, masih dengan setelan putih-birunya, ditemani name tag orientasi norak segitujuh yang tergeletak pasrah bersama ransel biru tua di sisi kirinya.
Tatapanku terkunci pada punggungnya yang lebar, sementara aku melangkah kearahnya bagai tertarik kuat oleh medan magnet tak terlihat. After all this time, aku masih tak bisa menolak pesonanya, yang membuatku tak berdaya. Kesederhanaannya. Begitu tulus, begitu bersahaja.
Aneh. Kenapa dia belum juga pulang?
Dan lidah ini terasa begitu kelu, saat dengan suara bergetar kucoba untuk menyapanya.
“H-hey…”
Hupp. Ia mendongak. Mataku menemui rautnya yang menawan. Rambut pendek acak-acakan. Alis tebal yang menaungi sepasang mata cokelat. Hidung mancung. Bibir bersemu merah muda, merekah sempurna. Dan kulit yang cokelat, terbakar matahari. Sebuah senyum manis kontan melengkapi segala keindahan itu saat ia mengenaliku.
“Hey,” ia balas menyapa, ragu. Suaranya parau, mungkin karena terlalu banyak teriak di sesi permainan tadi.
“Belum pulang?” tanyaku, mencoba terlihat kalem. Meski dalam hati aku setengah mati ingin langsung menerjang dan memeluknya erat-erat.
Ia tertawa kecil sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya, salah tingkah. “Aku… eh, gue lupa bawa kunci rumah,” ucapnya awkward, menghindari tatapan mataku.
Aku ikut tertawa. Kuambil posisi duduk di sebelah kanannya. “Gue?”
Dahinya berkerut. “Ha?”
“Iya. Gue.” Kuangkat alisku, menggodanya. “Well, don’t you mean ‘aku’?”
Ia mendengus, mengangkat bahu. “Kamu yang bilang kita harus jaga jarak di sini,” ucapnya sambil merengut. Duh, lucunya.
“Iya, tapi kan kalo lagi ada orang aja,” jawabku ringan. “Sekarang kan kita sendirian, nggak apa-apa. Lagian nggak enak, kaku-kakuan sama kamu. Pake manggil ‘kakak’ segala lagi. Aneh banget rasanya.”
Kembali ia tergelak seraya mengangguk, walau kubaca masih ada sedikit ragu bercampur cemas membekas di wajahnya.
Diam. Kuarahkan pandang ke depan, menyapu areal parkir sekolah yang hampir kosong dihadapanku. Hanya ada beberapa mobil yang kukenali sebagai kendaraan dinas sekolah masih terparkir disana. Lapangan basket yang terletak tak jauh pun terlihat sepi, tak seperti biasa; segelintir orang yang masih bermain basket disana terlihat berganti-ganti menembakkan bola ke arah ring. Suasana sekolah yang biasanya sibuk terasa amat sunyi di sore hari. Aneh. Tetapi damai.
“Kata teman-temanku, kamu hari ini galak.”
Spontan aku menoleh, menatapnya yang sedang tersenyum nakal dengan pandangan lurus ke depan. Kukerutkan dahi. “Galak? Galak apanya?”
Ia mengangkat bahu. “Nggak tau. Mereka cuma bilang, hari ini kamu lain. Murung terus, jarang senyum, jarang ngomong. Kalau ditanya juga jawabnya sinis. Padahal kemarin kan kamu ramah banget sama semuanya.”
Bayangan wajah si ketua OSIS sialan langsung berkelebat di pikiranku, dan aku pun tersenyum. “Oh, mungkin karena aku lagi sebel sama seseorang kali ya,” ucapku.
“Ha?” Ia tampak kaget. “Sama siapa? Bu-bukan sama aku, kan?”
“Bukan, bukan sama kamu kok,” Kuhela napas panjang. “Ada yang ngasih aku kerjaan tambahan pagi ini, dan aku bingung aja bagaimana cara ngerjainnya.”
“Oh.” Dianggukkannya kepala, lega. “Padahal menurut aku kamu lebih lucu kalau lagi senyum.”
Kudorong bahunya. “Gombal.”
“I’m only being honest here, sweetheart.”
“Whatever. Tetap saja terdengar gombal.”
“Ih.” Rautnya berubah cemberut. “Dibaik-baikin malah ngeledek. Ya udah. Terserah kamu.”
Aku mendelik ke arahnya. “Siapa yang ngeledek?”
“Itu, barusan…” Dipasangnya tampang merajuk. “Ternyata bener. Hari ini kamu galak.”
Kembali diam. Beberapa orang berbaju bebas tak dikenal berjalan melewatiku masuk ke dalam lobi; para alumni yang mau mengambil buku tahunan, mungkin. Tentu saja mereka terrhambat sejenak, dicegat sekaligus ditanya-tanya ketus oleh si satpam wanita menyebalkan yang senantiasa menjagai pintu depan.
Sebuah tawa kecil tak tertahan menyelip keluar dari bibirku. Membuatnya menoleh. “What’s so funny?”
“Tuh, si satpam kepo beraksi lagi,” bisikku.
Ia menoleh ke belakang, melihat orang-orang berbaju bebas tadi sedang adu mulut dengan si satpam. “Whoa. Apa setiap orang yang mau masuk ke dalam gedung sekolah harus melewati tahap itu?” Digelengkannya kepala. “Hari ini udah empat kali aku lihat ada orang nggak dikasih masuk sama dia. Benar-benar sekolah yang aneh.”
“Exactly. Welcome to my world,” Kembali kuhembuskan napas panjang. “I hate to break this to you, honey, tapi kayaknya kamu memilih sekolah yang salah.”
“Mungkin.” Ia mengorek tasnya, mengeluarkan sesuatu yang ternyata adalah sebatang cokelat. Diberikannya cokelat itu padaku yang hanya menatapnya tak mengerti.
“Nih makan, kamu pasti lapar,” ujarnya.
Kuterima cokelat itu dengan bingung. “Kamu… Kok tahu aku lapar?”
Ia tersenyum. “Aku tahu kamu sibuk banget hari ini. Karena sibuk, pasti kamu belum sempat benar-benar makan. Aku kan kenal kamu.”
Kutatap wajahnya. Ada kelembutan di sana, yang kian menggetarkanku, meluluhkanku.
“Thanks…” desahku akhirnya, terharu.
“Anytime. Janji ya, besok walaupun sibuk tetap harus ingat makan.”
“Uhm… Iya, janji.”
Sembari sibuk mengunyah cokelat, sembunyi-sembunyi kucuri pandang ke arahnya, yang masih terduduk manis di sisi kiriku. Aku selalu suka melihatnya dalam balutan kemeja putih dan celana pendek birunya ini. Ia terlihat lucu, childish sekaligus matang. Seakan jejak-jejak kekanakan masih enggan meninggalkannya, walaupun kini ia sudah bisa dibilang beranjak dewasa. Celana pendeknya terlihat kekecilan, begitu juga dengan kemeja putihnya yang kancing paling atasnya dibiarkan terbuka. Angin sore yang masih bersemilir sesekali mengacak-acak rambutnya, mengibarkan ujung kerahnya. Sebuah pemandangan indah yang menggetarkan.
Ah. Jika memang benar ada sesuatu yang bisa dibilang sempurna di seluruh semesta, bolehkah aku menyatakan bahwa dialah kesempurnaan itu? Karena segala hal yang dimilikinya terlihat begitu tak bercela di hadapanku. Manis. Lugu. Irresistible. Charming. Dan bercahaya. Bersinar terang bagai sejuta bintang di langit malam. Mendamaikan hati bak derasnya rinai hujan.
Aku masih ingat sapaan pertamanya di lorong sekolah tiga tahun lalu. Saat dimana aku masih mengenakan setelan putih biru yang serupa dengannya. Sapaan yang dipenuhi suara yang bergetar dan sejuta senyum canggung. Waktu itu, ia nyaris jatuh tertabrak seorang teman yang sedang berlari lewat, karena ia berdiri kaku di tengah-tengah lorong sementara berbicara denganku. Dengan refleks aku sempat menahan pundaknya, mencegahnya jatuh berdebum di lantai. Pandangan kami bertemu, dan sejak saat itulah kurasakan reaksi kimia yang berhasil memercikkan bara cinta antara aku dan dia. Nyala api yang tak padam oleh waktu, namun malah mematangkan esensi. Bukankah itu yang semua orang cari?
Sekarang, saat deru jalannya masa telah lewat berlari cepat, meninggalkan jejak kabur bernama memori, kisah cinta itu masih saja indah bersemi. Hampir tiga putarran musim cerita ini kutulis bersama-samanya. Dan apakah aku bahagia? Ya. Tentu saja.
Seperti saat ini, ketika kuhabiskan soreku duduk berdua dengannya di tangga depan sekolah, menikmati sepoi angin dan lembutnya cahaya matahari yang menerangi.
Tiba-tiba, dalam keheningan yang terjaga baik selama beberapa menit tadi, digenggamnya tanganku.
“Aku senang hari ini,” ucapnya lirih, tulus. “Makasih, ya.”
“Ha?” Kutolehkan kepalaku, bingung. “Senang? Senang kenapa?”
“Karena kamu,” jawabnya.
Aku semakin tak mengerti. “Kenapa karena aku? Aku nggak ngapa-ngapain hari ini. Malah tadi kamu bilang aku hostile. Galak. Whatever. Kenapa karena aku?”
Ia menghela napas. Kembali dirogohnya ransel birunya, mengeluarkan buku catatan harian wajib yang setiap hari harus diisinya. Sebuah prosedur menarik sekaligus unik dari masa orientasi siswa sekolah ini. Dibolak-baliknya halaman demi halaman buku catatan harian bersampul merah tersebut, menemukan sesuatu, lalu diberikannya buku itu kepadaku, masih dalam keadaan terbuka.
“Karena ini,” ujarnya lagi, kembali tersenyum, menyuruhku membaca.
Kuterima buku itu. Kulihat halaman yang membuka. Dan aku tersadar.
Tadi siang, di salah satu sesi siang yang membosankan, aku sempat iseng membuka-buka catatan harian para anggota kelas yang kubimbing. Dan dalam catatan miliknya, di salah satu halaman tengah yang masih kosong, kutulisi beberapa baris penggalan lirik sebuah lagu kenangan berdua. Selalu Denganmu, dari Tompi. Lengkap dengan sebuah smiley imut di pojok kanan, dan deretan huruf ‘ILU’ yang kuukir manis tepat di sebelahnya. Tanpa sadar, aku tersenyum. Aku bahkan lupa kalau aku menulis ini tadi siang; mungkin aku terlalu bosan sekaligus fed up dengan si ketua OSIS terkutuk untuk dapat memfokuskan pikiran.
Kuangkat wajahku, menemui parasnya yang sedang sumringah. Kuangkat alisku, sembari menghela napas panjang, saat sepasang sorot cokelat itu mengunci mataku dalam sebuah tatapan manis, penuh arti.
Aku mencintainya.
Aku sungguh mencintainya.
Aku mencintainya seperti sang rembulan mencintai malam. Seperti matahari mencintai teriknya siang. Aku mencintainya selembut daun-daun kemerahan yang jatuh menumpuk di musim gugur. Sedamai suara debur ombak yang menyapa pasir di garis pantai. Seteguh pohon beringin yang tak bergeming tertiup angin. Seindah titik-titik hujan malam yang turun membasahi tanah.
Dan saat ia berdiri, meraih ransel serta nametag norak segitujuhnya, lalu berbalik menatapku, waktu seakan tersangkut dan berhenti.
“Kamu… Mau kemana?” tanyaku tergagap, tidak siap dengan gesturnya barusan.
Perlahan, diangkatnya bahu. “Where else? Aku mau pulang,” ucapnya. “Udah sore, aku mau istirahat.”
“Tapi, tadi katanya kamu lupa bawa kunci rumah…”
Ia tergelak, mukanya memerah. “Aku… Aku tadi bohong,” desahnya. “Aku cuma mau nungguin kamu, biar bisa ngobrol sama kamu, sebentar, di sini.”
“Ha?” Aku seperti kehilangan kata-kata mendengar kalimatnya. Hatiku diterpa gelombang ketrenyuhan yang amat sangat; aku hanya bisa memandangnya, lembut bercampur haru, sembari tersenyum tulus.
Sebuah tawa kecil pun terselip keluar dari bibirnya. “Sudah ya, aku pulang dulu.”
Kusaksikan sosoknya berjalan gontai menuruni tangga, membiarkanku trerus terdiam terpaku pada punggungnya selagi ia melangkah. Diiringi tiupan angin sore yang menerbangkan ujung kemejanya, menyisir jejak rambutnya, membingkainya dalam satu lagi momen sempurna.
Mengapakah aura itu selalu saja berhasil menghipnotisku, menjadikanku diam tak berdaya di hadapan pesona dirinya?
Mengapakah kehadirannya selalu sanggup menghapus segala keluhkesahku dan membuatku kembali bahagia?
Aku pun tak kuat menahan godaan untuk berteriak memanggilnya sekali lagi. “Hey!”
Ia langsung berbalik, bingung. “Apa?”
“Sampai ketemu besok!” seruku lantang, mengatupkan kedua tangan membentuk corong di sekeliling mulutku sembari tertawa lebar. “Jangan sampai telat lagi ya!”
Tulus, ia ikut tertawa. Memandangku sekali lagi, mengatakan sejuta kata tanpa perlu mengutarakannya dengan barisan kata-kata.
“Iya! Jangan khawatir, sayang…”
…Kaulah matahari dalam hidupku
Dan kaulah cahaya bulan di malamku
Hadirmu s’lalu akan kutunggu
Cintamu s’lalu akan kurindu
Selalu denganmu… Kasihku, slamanya
Selalu denganmu… Cintaku, bersama…
Tahukah kau diriku tak sanggup hidup bila kau jauh dariku?
Kuingin dipelukmu, s’lalu…
0 komentar: on "Always With You"
Posting Komentar